Bangsa Indonesia  sesungguhnya mewujud atas dasar kesepakatan bukan atas dasar sejarah  atau geografi.  Dalam BPUPKI terjadi perdebatan antara para tokoh  pendiri Republik ini tentang apa itu bangsa Indonesia dan apa itu  wilayah negara Indonesia.  Ini adalah salah satu bukti bahwa bangsa dan  bahkan negara Indonesia mewujud atas dasar kesepakatan.  Setelah itu  terjadi berbagai kesepakatan lain yang mengikutinya, misalnya saja  tentang bentuk negara kesatuan bukan federasi.  Serangkaian kesepakatan  para pendiri Republik itulah yang seyogyanya perlu dijaga dan dijadikan  commitment bersama seluruh bangsa, karena semua kesepakatan yang telah  dibuat itu merupakan bingkai dari jatidiri bangsa, yang apabila  diingkari bagian-bagiannya maka mencairlah jatidiri itu.
Ada sementara pakar yang  ahli dalam bidangnya menyarankan bahwa apa yang ada itu, termasuk  Pancasila, jangan dikeramatkan alias dapat diubah atau ditinggalkan sama  sekali.  Sebenarnya kalau akan bereksperimen sudah barang tentu tidak  ada yang melarang asalkan bukan pada tingkat bangsa dan negara.   Contoh  eksperimen tingkat negara yang berbahaya adalah referendum di Timor  Timur yang tidak menyelesaikan masalah akan tetapi justru menciptakan  masalah yang baru yang lebih kompleks.
Kesatuan sosial budaya  sesungguhnya merupakan sublimasi dari rasa, faham dan semangat  kebangsaan.  Tanpa memandang suku, ras dan agama serta asal keturunan,  perasaan satu dimungkinkan untuk dibentuk asal sama-sama mengacu pada  wawasan kebangsaan Indonesia sebagaimana dicontohkan oleh Soempah  Pemoeda.
Pelestarian serta  pengembangan budaya daerah, ciri-ciri asli daerah, memang amat  diperlukan dalam rangka pengakaran penduduk setempat pada nilai-nilai  budayanya; akan tetapi hal itu tidaklah seharusnya mendorong munculnya  sentimen ke daerah sempit.  Nilai budaya daerah memang harus  dilestarikan, sebab tidak ada yang dinamakan budaya nasional, dan  pelestarian itu justru dimaksudkan sebagai bagian dari pemupukan  identitas nasional.  Sejarah umat manusia telah memberikan berbagai  contoh surutnya kebesaran satu bangsa atau bahkan musnah satu suku  bangsa di zaman dahulu; dan proses itu selalu didahului oleh kemorosotan  budayanya karena tidak ada upaya pelestarian.  Pada zaman modern ini  terjadi pula hal yang hampir serupa yaitu musnahnya negara Yugoslavia  seperti yang kita kenal dahulu.  “Bangsa” Yugoslavia adalah hasil  kesepakatan diantara para pendirinya.  Beda dengan Indonesia adalah  bahwa disana tidak ada satu bahasa melainkan 4 (empat) bahasa resmi,  sehingga rasa satu berlangsung hanya selama dapat  bersandar pada Tito.
Pertentangan agama juga  secara potensial menghalangi terjadinya kesatuan sosial budaya walau  kedua belah pihak berada dalam satu suku atau bangsa, misalnya apa yang  terjadi di Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo dan sebagainya.  Karena itu  amat penting apabila pengajaran agama disekolah-sekolah formal dan  non-formal perlu diberikan masukan tentang kebangsaan dan juga  sebaliknya.
Mengingat agama  memberikan landasan kekuatan iman dan moral pada setiap individu  masyarakat bangsa maka niscaya hal tersebut akan berujung pada  pembentukan ketahanan pribadi masing-masing warga, dan hal inilah yang  amat bermanfaat dalam pembinaan kesatuan sosial budaya.
Kesatuan sosial budaya  dikaitkan dengan pembentukan ketahanan pribadi merupakan penangkalan  terhadap kemungkinan terjadinya frontier.  Hal ini perlu diwaspadai  karena setiap budaya mempunyai ciri atau kemampuan untuk men-subversi  budaya lain secara halus dan tak terasa terjadinya.  Hanya kesatuan dan  kekuatan budayalah yang dapat menangkalnya, dan itu berarti harus dijaga  secara terus menerus agar proses pewarisan berlangsung.
Comments
Post a Comment